PWM Sulawesi Tenggara - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Sulawesi Tenggara
.: Home > Berita > Mengenal "Nyai Ahmad Dahlan" Sang Pembaharu Kaum Perempuan

Homepage

Mengenal "Nyai Ahmad Dahlan" Sang Pembaharu Kaum Perempuan

Selasa, 01-08-2017
Dibaca: 1242

 
Siti Walidah atau yang kerap dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, lahir di Kauman, Yogyakarta, Hindia Belanda, 3 Januari 1972. Anak keempat dari KH Muhammad Fadil, pemuka Agama Islam dan Penghulu resmi Keraton Yogyakarta.
 
Karena alasan adat yang berlaku di lingkungan keraton Siti Walidah menjadi puteri "pingitan" hingga datang saatnya untuk menikah. Karena pingitan ini, pergaulannya pun sangat terbatas. Ia tidak diperbolehkan menempuh pendidikan di sekolah formal karena pada saat itu ada larangan bagi kaum perempuan untuk bersekolah. Dengan bimbingan orang tuanya, Siti Walidah belajar Alqur'an dan kitab-kitab agama yang berbahasa Arab Jawa. Ia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu tentang Islam.
 
Pada tahun 1889, Siti Walidah menikah dengan sepupunya, KH Ahmad Dahlan. Setelah pernikahan itu, Siti Walidah lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Buah pernikahannya dengan KH Ahmad Dahlan adalah mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyiroh, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
 
Sebagai suami dari seorang pemuka agama yang mempunyai pemikiran-pemikiran berkemajuan, Siti Walidah dan suaminya sering mendapat kecaman dan tantangan karena pembaharuan yang dilakukannya. Namun, Siti Walidah tetap mendukung penuh suaminya tersebut dalam berdakwah dan menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya. Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, Nyai Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang luas. Hal itu disebabkan karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh-tokoh pemimpin bangsa lainnya yang juga merupakan teman seperjuangan suaminya.
 
Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Persyarikatan Muhammadiyah dimulai saat ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno pada Tahin 1914, dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Kegiatan yang disampaikan dalam pengajian tersebut adalah pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh pasangan suami isteri tersebut. 
 
Setelah kelompok pengajian Sopo Tresno berjalan lancar dan anggotanya terus menerus bertambah, Nyai Ahmad Dahlan kemudian berpikir untuk mengembangkan Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi kewanitaan berbasis Agama Islam yang mapan. Akhirnya, dipilihlah nama Aisyiyah (pengikut Aisyah) sebagai organisasi Islam pertama bagi Kaum Wanita. Organisasi ini resmi didirikan tepat pada malam peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW pada 22 April 1917. Siti Bariyah kemudian tampil sebagai ketua Aisyiyah pertama. Lima tahun setelah didirikan barulah Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.
 
Nyai Ahmad Dahlan memilih mengajari masyarakat dengan karya yang nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum perempuan. Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering mengadakan perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok-pelosok desa untuk menyebarluaskan ide-idenya. 
 
Nyai Ahmad Dahlan kemudian wafat pada tanggal 31 Mei 1946 pada usia 74 tahun. Untuk mengingat jasa-jasanya, Nyai Ahmad Dahlan dianugerahkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 1971 dengan Surat Keputusan Presiden no 42/TK Tahun 1971, saat Presiden RI dijabat oleh Soeharto. Ditetapkannya Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan nasional, bukan hanya karena dia isteri dari seorang KH Ahmad Dahlan. Tetapi, karena memang Nyai Ahmad Dahlan telah melakukan peran-peran besar yang penting dan berguna bagi Bangsa Indonesia khususnya bagi Kaum Perempuan.
 
Dikutip dari berbagai sumber

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Tokoh Muhammadiyah



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website